NGATANNYA dipastikan masih kuat tentang suatu sore menjelang buka puasa, sekitar 28 tahun silam, di depan Masjid Kauman Kota Magelang, Jawa Tengah.
Lelaki itu berkisah ketika berjalan kaki mengikuti Mukhlas, petugas penyulut “bom” penanda buka puasa di Masjid Agung Kauman Kota Magelang, Jateng.
Apa yang disebut “bom” itu, kelihatannya berupa bubuk mercon dikemas secara khusus dalam ukuran cukup besar. Suara letusannya yang khas disebut masyarakat Magelang sebagai “dung” itu pada masa lampau, menggelegar hingga terdengar dari jarak cukup jauh.
Mukhlas telah meninggal dunia pada era 1990-an. Semasa hidupnya, ia setiap sore bertugas membawa “bom” dari kantor masjid menuju tempat penyulutan di tepi Alun-Alun Kota Magelang.
Lelaki yang masa kecilnya sering berjalan kaki, mengikuti di belakang Mukhlas saat menyiapkan “bom” itu, bernama Luky Henri Yuni Susanto (38).
Dia yang warga Kampung Kauman Kota Magelang tersebut, seakan merekonstruksi detik-detik penyulutan “dung”, tradisi penanda buka puasa. Bunyi “dung” pernah menjadi ciri khas dan tradisi selama bertahun-tahun Masjid Kauman, setiap sore, selama Ramadhan.
“Dulu beduknya di sini, lalu bersamaan dengan azan magrib, pemukul beduk memberi tanda ke Pak Mukhlas yang telah siap di alun-alun untuk menyulut ‘bomnya’,” kata Henri yang akrab dipanggil Mashenk, di dalam Masjid Kauman, beberapa jam menjelang shalat Jumat, siang itu.
Masjid Agung Kauman Kota Magelang didirikan pada 1650 oleh K.H. Mudakir. Bersama isterinya Nyai Mudakir dan para pendahulu warga setempat, ulama berasal dari Jawa Timur itu dimakamkan di belakang masjid.
Pada awalnya, masjid itu mampu menampung sekitar 1.000 umat untuk beribadah. Masjid yang kini menjadi ikon Kota Magelang itu, telah mengalami beberapa kali pemugaran, terutama penambahan dan perluasan bangunan sehingga saat ini berkapasitas sekitar 3.000 orang.
Dalam periode Kota Magelang dipimpin oleh Wali Kota Bagus Panuntun, pada 1991 dibangun menara Masjid Kauman setinggi 24 meter, tempat wudhu laki-laki dan perempuan, serta teras depan.
Keaslian bagian atap masjid tetap dipertahankan hingga saat ini, berupa tiga tataran. Imam dan takmir Masjid Kauman, Nawaro (66), menyebut model atap itu sebagai simbol rukun agama, yakni iman, Islam dan ihsan.
Nawaro yang menjadi takmir Masjid Kauman sejak 1972 dan imam sejak 1987 itu mengaku tidak mengetahui sejak kapan tradisi “dung” dimulai di tempat itu. Read more ›